![]() |
| Bhenu Artha Dosen Program Studi Kewirausahaan Universitas Widya Mataram Yogyakarta |
Bayangkan kita sedang antre di sebuah gerai makanan minuman terkenal. Di depan kasir, ada dua pilihan: mengeluarkan uang kertas dari dompet atau mengangkat ponsel, membuka aplikasi, lalu menempelkan layar ke mesin QRIS. Kedua cara itu sah, sama-sama menggunakan rupiah, dan sama-sama diatur oleh Bank Indonesia (BI). Namun, pengalaman yang kita rasakan berbeda.
Transaksi digital terasa modern, cepat, dan praktis. Sementara uang tunai memberi rasa nyata: kita bisa merasakan tekstur uang, menghitung kembalian, dan melihat langsung nilai yang berpindah tangan. Pertanyaannya, di era serba digital ini, apakah uang tunai masih relevan?
Sebelum kita terlalu jauh membandingkan, penting untuk diingat bahwa semua transaksi di Indonesia, baik digital maupun tunai, harus mengikuti aturan BI, yang menegaskan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di negeri ini.
Artinya, meskipun kita membayar dengan QRIS, kartu debit, atau dompet digital, pada dasarnya kita tetap menggunakan rupiah. BI juga mengatur agar penyelenggara uang elektronik menjaga keamanan, transparansi, dan tidak merugikan konsumen. Jadi, inovasi boleh saja, asal tetap dalam koridor hukum.
Mengapa banyak orang beralih ke pembayaran digital, terutama di gerai food & beverages?
• Cepat dan praktis: tidak perlu menghitung uang kertas atau menunggu kembalian.
• Tercatat otomatis: setiap transaksi masuk ke aplikasi, memudahkan kita melacak pengeluaran.
• Promo dan reward: sering ada diskon atau poin yang bisa ditukar.
• Mendukung UMKM: dengan QRIS, warung kopi kecil bisa menerima pembayaran digital tanpa harus punya mesin EDC mahal.
Bayangkan membeli kopi susu seharga Rp20.000. Dengan QRIS, cukup scan, klik bayar, selesai. Tidak ada ribet mencari uang pas.
Namun, jangan buru-buru menyingkirkan uang tunai. Ada alasan mengapa uang tunai masih bertahan:
• Diterima di mana saja: bahkan di warung kecil yang belum punya QRIS.
• Tidak butuh internet: berguna saat sinyal lemah atau listrik padam.
• Privasi lebih terjaga: tidak ada jejak digital yang bisa dilacak.
• Rasa aman psikologis: banyak orang merasa lebih “nyata” saat memegang uang fisik.
Di pasar tradisional, uang tunai masih jadi raja. Membeli gorengan atau minuman segar lebih mudah dengan uang kertas Rp5.000.
Kedua metode punya tantangan masing-masing, yaitu:
• Digital: rawan gangguan sistem, risiko pencurian data, dan ketergantungan pada teknologi.
• Tunai: rawan pencurian fisik, biaya logistik tinggi (mencetak, mengangkut, menyimpan).
Gerai F&B harus pintar menyeimbangkan. Jika hanya menerima digital, mereka bisa kehilangan pelanggan yang lebih nyaman dengan tunai. Jika hanya menerima tunai, mereka bisa dianggap ketinggalan zaman.
Generasi muda (Gen Z, milenial) lebih suka digital, karena sesuai gaya hidup cepat dan mobile. Generasi senior atau masyarakat rural masih nyaman dengan uang tunai. Pelanggan urban terbiasa dengan promo e-wallet di kafe atau restoran. Pelanggan tradisional lebih percaya pada uang fisik yang bisa dilihat dan dipegang.
Dari perspektif pelaku usaha, gerai besar/franchise internasional cenderung mendorong digital payment demi efisiensi, sementara UMKM lokal tetap mempertahankan opsi tunai agar tidak kehilangan pelanggan, dan pada festival kuliner biasanya didorong penggunaan QRIS, tapi tetap menyediakan booth penukaran uang tunai.
Transaksi digital dan uang tunai bukanlah musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Digital payment memang masa depan, tapi uang tunai tetap penting sebagai jangkar inklusi. Gerai food & beverages sebaiknya tidak memaksakan satu metode saja. Memberi pilihan adalah bentuk pelayanan terbaik. Konsumen merasa bebas, pelaku usaha lebih fleksibel, dan regulasi Bank Indonesia tetap terjaga.
Penulis :
Bhenu Artha
Dosen Program Studi Kewirausahaan Universitas Widya Mataram Yogyakarta
