![]() |
Advokat Rene Putra Tantrajaya alumni Leed Beckett University United Kingdom (Inggris) |
Jakarta, kompasone.com - Kesadaran masyarakat terhadap keinginan tahu isi perundang-undangan (UU) yang diterbitkan pemerintah dan DPR RI cukup tinggi. Hal itu terlihat jumlah permohonan judicial review (pengujian yudisial) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terus meningkat setiap tahunnya.
Pada 2024 tercatat yang mengajukan judicial review sebanyak 189 pemohon. Sementara di tahun ini, sejak Januari hingga akhir Mei saja jumlahnya sudah mencapai 95 gugatan. Diperkirakan pada akhir tahun jumlahnya akan mencapai 200 pemohon.
Apa penyebab masyarakat mengajukan judicial review ke MK? Menurut advokat muda Rene Putra Tantrajaya, SH, LLM, CIM upaya itu sebagai bentuk keinginan tahu apakah UU yang disahkan pemerintah dan DPR RI sudah sesuai dengan hak konstitusi atau tidak.
“Permohonan itu merupakan bentuk kewajaran atas dasar kesadaran masyarakat terhadap masalah hukum. Khususnya mereka yang dirugikan hak atau kewenangan konstitusionalnya terhadap berlakunya UU produk pemerintah dan DPR RI,” ungkap praktisi alumni Strata dua Leed Beckett University United Kingdom (Inggris) jurusan International Business Law (2014-2015), kepada wartawan, Senin (30/6/2025).
Selain itu, lanjutnya, bisa jadi lantaran tidak puas dengan pembentukan legislasi (UU) yang diduga tak sesuai dengan prinsip hukum yang termaktub di dalam konstitusi, atau kata lainnya bertentangan dengan UU Dasar 1945.
“Masyarakat yang dirugikan berharap MK mengoreksi pembentukan UU agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di atasnya, serta materi peraturan dan ketentuan hukum di dalamnya,” kata Rene seraya menambahkan, adalah wewenang MK mengoreksi produk UU di mana putusannya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga UU yang disusun pemerintah dan DPR RI tidak mudah dianulir.
Pada bagian lain praktisi hukum ini menyesalkan proses pembentukan UU yang dilakukan pemerintah dan DPR RI terkesan tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, akademisi, serta pakar dibidangnya. Seharusnya proses legislasi UU memenuhi keinginan rakyat, mencitrakan aspirasi masyarakat luas, bukan untuk suatu kepentingan tertentu saja.
“Bahkan proses pembentukan tidak jarang dilakukan secara tertutup, singkat, dan diduga menyalahi ketentuan. Jadi jangan salahkan masyarakat jika proses legislasi UU dituding kurang aspiratif dan partisipatif, sehingga melahirkan ketidakpuasan, dan berujung mengajukan gugatan ke MK,” ungkap Rene.
Advokat ini kembali menegaskan, koreksi yang dilakukan MK terhadap legislasi UU menunjukan, bahwa anggota dewan yang duduk di Komisi III lemah ketika mengkaji atau membahas RUU (Rancangan Undang-Undang) yang dibuat pemerintah.
“Seharusnya, Komisi III DPR RI selaku pihak yang membidangi hukum, cukup paham ketika membahas RUU, sehingga hasilnya maksimal dan tidak melahirkan ketidakpuasaan masyarakat. Tapi faktanya, seperti diketahui, ratusan UU digugat masyarakat. Fakta itu sebagai bukti, bahwa anggota Komisi III DPR RI lemah dalam hal pemahaman hukum,” kata Rene.
Dalam kaitan itu, advokat ini bersaran, sebaiknya anggota dewan yang duduk di Komisi III DPR RI strata tiga pendidikan hukum berlatar belakang praktisi atau pakar hukum pengalaman.
“Jangan mentang-mentang jebolan fakultas hukum, belum menyandang strata tiga, nggak punya pengalaman sebagai praktisi atau bukan pakar hukum, lantas didapuk jadi anggota Komisi III DPR RI. Hasilnya, ya, kayak sekarang ini, masyarakat berbondong-bondong ngajukan gugatan UU ke MK. Saya berharap pimpinan DPR selektif untuk menentukan siapa saja yang duduk di komisi itu,” urai Rene.
Pemerintah pun, tambahnya, ketika merancang perundangan harus melibatkan banyak pihak, seperti elemen masyarakat, praktisi, pakar dan akademisi. Dengan begitu, hasilnya maksimal dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Yang terpenting tidak menyimpang dari ketentuan konstitusi.
“Pada intinya, setiap produk UU tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945, dan harus memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga produk UU yang disusunnya oleh DPR-RI tidak mudah dianulir atau dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya di akhir komentar tentang produk UU yang banyak digugat tersebut.
Red