Sumenep, Kompasone.com – Integritas proses seleksi atlet bulutangkis yang digadang akan mengharumkan nama Kabupaten Sumenep di ajang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) 2025 kini berada di bawah sorotan tajam. H. Safiudin, SH., MH., Ketua Komunitas Warga Kepulauan (KWK),
Secara eksplisit menyatakan keprihatinannya, membedah praktik yang ia dianggap telah menyelewengkan esensi kompetisi menjadi tontonan yang kental nuansa "pertunjukan keluarga." Retorika yang dilontarkannya bukan sekadar kritik, melainkan sebuah refleksi atas kemunduran fundamental dalam manajemen talenta olahraga daerah.
Dalam sebuah pernyataan yang mengandung sarkasme mendalam, Safiudin mengemukakan, "Manakala kerangka seleksi atlet telah didegradasi menjadi sistem suksesi klan, maka seyogyanya adendum substansial ini dicantumkan secara gamblang dalam petunjuk teknis yang berlaku.
Hal ini tentu akan mengeliminasi disparitas ekspektasi dan realita bagi kami di kepulauan yang telah menginvestasikan waktu dan daya dalam pembinaan, hanya untuk menyaksikan pilihan jatuh pada individu dengan 'marga' tertentu." Pernyataan ini secara telanjang membongkar dugaan nepotisme yang merongrong fondasi meritokrasi.
Ironi yang paling menohok adalah kasus Noval, seorang atlet dari gugusan pulau yang, meskipun merupakan juara pertama di kategorinya, sama sekali tidak pernah menerima panggilan resmi untuk mengikuti sentra pelatihan. Kontras mencolok terlihat pada atlet-atlet yang "secara kebetulan" memiliki ikatan kekerabatan dengan petinggi organisasi, yang justru melenggang mulus dalam daftar seleksi.
"Fenomena ini mengindikasikan bahwa Noval mungkin dilahirkan dalam konstelasi sosiologis yang keliru. Andaikan ia adalah buah hati seorang pengurus PBSI, probabilitas besar ia kini tengah dipersiapkan sebagai panji utama kontingen. Namun naas, ia hanya memiliki prestasi, bukan koneksi," papar Safiudin, menyiratkan bahwa kualifikasi objektif telah dikalahkan oleh relasi subjektif.
Ketua KWK lebih lanjut mengurai bahwa petunjuk teknis seleksi, yang seharusnya menjadi pedoman transparan dan akuntabel, tampaknya hanya berfungsi sebagai artefak legalitas belaka. Implementasinya, menurut Safiudin, jauh dari prinsip objektivitas yang mendasari sebuah kompetisi sehat. Ia memperingatkan bahwa preseden seleksi semacam ini berpotensi mengukir mentalitas pada generasi atlet yang terbiasa "dipilih" alih-alih menempa diri melalui perjuangan dan dedikasi.
"Maka jangan salahkan kami jika di kemudian hari, tunas-tunas olahraga dari kepulauan enggan melanjutkan proses pembinaan. Mengapa harus bersusah payah berlatih siang dan malam, jika konklusi akhirnya adalah kekalahan oleh silsilah?" serunya, menuding sistem ini secara perlahan mematikan semangat juang.
Menanggapi janji evaluasi dari Kepala Dinas Disbudparpora Sumenep, Safiudin menyambutnya dengan senyum sinis yang mengisyaratkan skeptisisme mendalam. "Wacana evaluasi? Kami akan menanti dengan seksama.
Namun, jika esensi evaluasi tersebut hanya terbatas pada substitusi nama dalam surat undangan tanpa perubahan fundamental pada aktor-aktor kuncinya, maka kita secara implisit masih berada dalam lingkaran sistem yang sama: sistem 'siapa dekat, dia yang mendapat'."
Di akhir pernyataannya, KWK menegaskan komitmen pantang surut untuk mengadvokasi ketidakadilan ini agar tidak mengakar menjadi budaya paten. Mereka menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep untuk secara nyata merefleksikan keberpihakannya pada seluruh wilayah geografis, bukan hanya memprioritaskan kawasan daratan semata. Ini adalah desakan untuk akuntabilitas dan pemerataan kesempatan dalam pengembangan potensi olahraga daerah.
(R. M Hendra)