Sumenep, Kompasone.com – Gelombang resistensi terhadap kepemimpinan Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsoyudo, kembali menemukan momentumnya melalui aksi frontal Ach Supyadi, SH. MH., seorang intelektual sekaligus representasi suara masyarakat Kepulauan Sumenep.
Putra daerah asal Pulau Raas ini tanpa basa-basi melancarkan kritik pedas nan menohok terhadap disparitas pembangunan infrastruktur yang akut antara wilayah daratan dan kepulauan. Aksi Supyadi, yang kini menjelma menjadi resonansi kekecewaan publik di media sosial, adalah manifestasi dari akumulasi rasa terpinggirkan yang mendalam di benak warga kepulauan.
Alih-alih menggunakan metode konvensional yang dianggap "merusak pemandangan kota" oleh Satpol PP, Supyadi memilih jalur gerilya intelektual yang lebih subtil namun menusuk, stiker-stiker bernada sindiran tajam yang kini menghiasi sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) strategis di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumenep, termasuk Disdukcapil, perizinan, Bappeda, kantor pelayanan terpadu satu pintu, hingga markas Satpol PP. Langkah ini adalah antitesis elegan terhadap pembungkaman ekspresi, sebuah demonstrasi bahwa kritik yang cerdas akan selalu menemukan jalannya.
Di jantung kekuasaan Kabupaten Sumenep, tepatnya di pelataran Kantor Pemkab, Supyadi dengan retorika yang membakar namun terstruktur apik, menelanjangi ironi pembangunan yang secara sistematis mengalienasi wilayah kepulauan.
"Kepulauan Sumenep hanyalah komoditas politik musiman, dimanipulasi dalam retorika elektoral untuk mengeruk suara, lantas kembali terbenam dalam status anak tiri yang terabaikan, terutama dalam hal fondasi peradaban modern: infrastruktur jalan," ujar Supyadi dengan nada getir yang sarat akan kekecewaan mendalam. Sorot matanya yang berkaca-kaca adalah cerminan pilu atas nasib kampung halamannya yang terus menerus didikte oleh ketidakadilan pembangunan.
Dengan ketegasan yang tak tergoyahkan, Supyadi bahkan menyatakan skeptisisme mendalam terhadap komitmen Bupati Fauzi di periode kepemimpinan keduanya. Janji-janji manis pembangunan kepulauan pada periode sebelumnya, menurutnya, hanyalah ornamen retorika tanpa substansi implementasi yang signifikan.
Menepis segala insinuasi adanya agenda politis terselubung, Supyadi menegaskan bahwa gerakannya adalah luapan kejujuran intelektual seorang putra pulau yang menyaksikan langsung dekadensi infrastruktur di tanah kelahirannya.
"Apa yang saya lakukan adalah representasi kegelisahan eksistensial seorang anak pulau yang miris menyaksikan kampung halamannya terus menerus dicampakkan dalam pusaran pembangunan," tegasnya. Ia berharap aksinya ini akan menjadi katalisator bagi bangkitnya kesadaran kolektif para aktivis dan elemen masyarakat kepulauan untuk bersatu menuntut realisasi janji-janji pembangunan yang selama ini hanya menjadi ilusi optik kekuasaan.
Sebagai bentuk perlawanan simbolik yang lebih gamblang, Supyadi sebelumnya telah memasang sejumlah banner bernada ironi pedas di berbagai arteri Kota Sumenep. Untaian kata-kata provokatif seperti "Bupati Sumenep, Lihatlah…!!! Banyak Jalan Rusak di Kepulauan, Rusaknya Sudah Bertahun-tahun Lho…!" adalah tamparan keras bagi rezim yang dinilai melakukan praktik pembiaran sistematis terhadap realitas pahit di wilayah kepulauan. Ironisnya, gelombang kritik ini hadir sebagai "hadiah" pahit di awal periode kedua kepemimpinan Bupati Achmad Fauzi Wongsoyudo.
Problem krusial infrastruktur jalan di Kepulauan Sumenep memang merupakan warisan defisit pembangunan dari periode sebelumnya. Kendati Bupati Fauzi dalam berbagai forum publik telah mengakui tantangan ini dan mendeklarasikan komitmen pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur kepulauan setara dengan daratan, retorika tersebut kini diuji validitasnya oleh realitas lapangan yang kontradiktif dan suara lantang dari kaum intelektual seperti Ach Supyadi.
Narasi "pemerataan pembangunan" yang kerap kali dilontarkan oleh aparatur pemerintah daerah kini terancam menjadi sekadar jargon hampa di telinga masyarakat Kepulauan Sumenep.
Aksi Ach Supyadi adalah manifestasi perlawanan intelektual terhadap ketidakadilan struktural, sebuah alarm sonorous bagi Bupati Fauzi untuk segera mentransformasikan janji-janji kampanyenya menjadi aksi nyata.
Bola kini berada di tangan sang bupati: akankah ia mampu menjawab tantangan ini dengan langkah-langkah progresif yang terukur, ataukah kritik pedas dari Pulau Raas akan terus bergema menjadi noda hitam dalam catatan sejarah kepemimpinannya? Publik intelek menanti pembuktian substansial, bukan sekadar orasi-orasi retoris yang kehilangan relevansinya di hadapan realitas yang terfragmentasi.
(R. M Hendra)