Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Nonggunong Merana dalam Kegelapan Tirani Pemadaman Listrik dan Absurditas Pelayanan PLN

Rabu, April 23, 2025, 23:43 WIB Last Updated 2025-04-23T16:43:22Z


Sumenep, Kompasone.com – Kecamatan Nonggunong, sebuah entitas geografis yang terpencil di Kepulauan Madura, kini menjelma menjadi teater absurditas pelayanan publik. Bagaimana tidak, di tengah gembar-gembor kemajuan teknologi dan retorika pembangunan, warga di wilayah ini justru dipaksa berjibaku dengan realitas pemadaman listrik yang sadistis dan tak mengenal ampun. 


Dua kali sehari kegelapan mencengkeram, dengan durasi yang bisa mencapai 12 jam, bahkan pernah menorehkan rekor 24 jam tanpa setitik pun cahaya. Sebuah ironi pedih di era digital.


Keluhan demi keluhan laksana orkestra keputusasaan menggema dari bibir warga. Sinta, representasi nestapa dari Rosong, Nonggunong, dengan getir menuturkan, "Listrik di sini bisa padam 8 jam dua kali dalam sehari, bahkan pernah semalam suntuk, mulai isya hingga fajar menyingsing sekitar pukul delapan pagi, baru kemudian ia sudi menyala. 


Dan ini pun sebuah ironi yang diperparah dengan sistem giliran mati; hari ini kami yang merana, esok desa tetangga yang merasakan pil pahitnya kegelapan."


Ketidakstabilan kronis aliran listrik dari entitas bernama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Nonggunong, alih-alih menerangi, justru menebar petaka. Peralatan elektronik rumah tangga, yang seharusnya menjadi penunjang kehidupan modern, satu per satu menemui ajalnya. Lebih jauh, denyut nadi perekonomian masyarakat Nonggunong, yang membentang dari Tarebung hingga Tlagah, terancam lumpuh. 


Para pelaku perdagangan seakan kehilangan daya untuk berinovasi dan bertransaksi dalam kegelapan yang mencekam. Sebuah kontradiksi yang mencolok jika dibandingkan dengan kondisi Kecamatan Gayam, yang konon katanya menikmati fasilitas listrik yang lebih manusiawi.


Di balik layar kegelapan ini, tersirat sebuah tudingan pedas akan adanya "permainan" yang dimainkan oleh oknum PLN Nonggunong. Sahwan, warga Rosong, dengan nada sinis mempertanyakan retribusi bulanan yang tetap identik, tanpa adanya kompensasi atas ketidaknyamanan dan kerugian akibat pemadaman yang nyaris menjadi rutinitas. Bahkan, sistem "fokus bergilir padam" yang digembar-gemborkan PLN, alih-alih menjadi solusi, justru menambah daftar panjang ironi.


Asip, seorang mantan aktivis dengan label "Cobra" (Commando Barisan Anti Anarkis), menyoroti kelalaian akut pemerintah daerah Kabupaten Sumenep dalam menyikapi krisis listrik ini. Konsekuensinya tidak hanya sebatas kerugian materiil. 


Anak-anak yang hendak menimba ilmu agama di surau-surau gelap gulita berisiko terjatuh, dan orang tua pun tak luput dari ancaman cedera akibat minimnya penerangan. Ironisnya, kegelapan ini berkolaborasi dengan infrastruktur jalan yang memprihatinkan, menciptakan suasana kecelakaan yang tak berkesudahan.


Kesaksian warga menguak fakta yang lebih mengerikan. Pemadaman listrik bisa terjadi hingga tiga kali dalam sehari, dengan durasi yang mencapai empat jam setiap sesinya. Bahkan, pengalaman seorang jurnalis Kompasone.com membuktikan betapa rapuhnya infrastruktur di wilayah ini, di mana pemadaman listrik selama 30 menit saja mampu melumpuhkan akses internet, yang notabene hanya mengandalkan WiFi berbayar via satelit karena minimnya jangkauan jaringan seluler yang mumpuni (XL Axiata hanya menawarkan sinyal "E" yang memilukan).


Agus, seorang pengusaha es batu, menjadi salah satu korban langsung dari tirani listrik ini. Kulkas dan televisinya menjadi artefak bisu kerusakan. Usaha pendingin ikannya pun terancam gulung tikar karena biaya operasional genset yang mencekik, mencapai Rp 48.000 untuk empat jam penerangan alternatif.


Miskawan (55), warga Dusun Nonggunong, dengan nada putus asa menyampaikan keluh kesahnya, "Jadi kepada Bapak Bupati yang saya hormati, juga kepada Bapak PLN Pusat yang saya hormati, perekonomian kami mati jadinya. Rata-rata kami di sini cari uang pakai listrik." Ia mengungkapkan bahwa pemadaman terparah biasanya terjadi menjelang akhir tahun dan bulan suci Ramadhan, dengan durasi yang bisa mencapai 12 hingga 24 jam secara bergilir. Protes demi protes telah dilayangkan, namun nihil perubahan.


Ibu Sukilan menambahkan narasi kepedihan kolektif. Umpatan tetangga saat kegelapan datang menjadi pemandangan sehari-hari. "Listrik mati-hidup, mati-hidup terus. Padahal, kami tidak mengutang token," ujarnya, menirukan kebingungan dan kejengkelan warga.


Kisah kelam di Nonggunong ini bukan sekadar persoalan teknis. Ini adalah manifestasi ketidakadilan, pengabaian, dan pelayanan publik yang jauh dari kata memadai. Di tengah retorika pembangunan yang seringkali bombastis, realitas pahit di Kec.  Nonggunong menjadi tamparan keras bagi para pemangku kebijakan. Pertanyaan mendasar pun muncul, sampai kapan warga Nonggunong harus terus merana dalam kegelapan, menjadi korban absurditas pelayanan yang tak kunjung usai? Tindakan nyata dan solusi komprehensif adalah imperatif, bukan sekadar janji-janji retoris yang hampa makna. Kegelapan di kec. Nonggunong adalah kegagalan peradaban di abad ke-21.


Hingga detik ketika narasi kepiluan ini ditorehkan, sunyi senyap membungkus respons dari pihak PLN. Sebuah ironi yang mempertajam luka dan mengukuhkan persepsi akan abainya korporasi terhadap jeritan masyarakat Nonggunong. Ketidakacuhan ini bukan hanya sekadar kegagalan komunikasi, melainkan representasi arogansi struktural yang mengangkangi hak dasar warga atas penerangan yang stabil dan berkeadilan. Semoga kegelapan yang menyelimuti Kec. Nonggunong segera terusir oleh tindakan nyata dan pertanggungjawaban yang tak lagi tertunda.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan