Sumenep, Kompasone.com – Kondisi krusial di perairan Sumenep, Madura, kini menjadi sorotan tajam setelah terungkapnya fakta bahwa Kapal Bantuan Kendali Operasi (BKO) yang bertugas melakukan pengawasan, telah mandek beroperasi selama lebih dari satu bulan dengan dalih Pemeliharaan dan Perawatan (Harwat). Durasi Harwat yang dinilai tidak wajar ini dituding menjadi karpet merah bagi maraknya pelanggaran penangkapan ikan menggunakan Jaring Papan Pukat Dogol Katrol (sering disebut Centrang) yang dilarang, yang kini bebas berkeliaran keluar masuk perairan Sumenep tanpa pengawasan signifikan.
Ketiadaan kehadiran negara di laut ini secara langsung mencederai prinsip penegakan hukum maritim dan menimbulkan dampak sosial-ekonomi serius bagi nelayan kecil pengguna alat tangkap tradisional yang kini menghadapi kompetisi tidak sehat, diperparah dengan kelangkaan dan kesulitan akses terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Sikap mandeknya kapal pengawas ini menimbulkan pertanyaan mendasar terhadap kinerja dan akuntabilitas aparatur yang ditunjuk. Dalam konteks ini, peran Polairud Polda Jatim sebagai anggota inti yang bertugas dalam operasi pengawasan di wilayah perairan Sumenep Madura menjadi vital, di mana setiap anggotanya terikat pada kewajiban institusional untuk menjaga kedaulatan dan kepatuhan hukum di laut.
Ketika dikonfirmasi mengenai lamanya masa Harwat dan mekanisme pembiayaannya, Aipda Kholik (disebutkan Aibda pada keterangan, red.) memberikan tanggapan yang terkesan parsial dan tidak transparan:
"Dibiayai kantor, Pak. Ada sendiri subditnya yang menangani masalah Harwat, namanya Subdit Fasharkan. Jatah BBM selama Harwat tidak dapat, Pak."
(Aipda Kholik, dalam konfirmasi)
Jawaban tersebut, meski menunjuk pada subdit terkait pembiayaan, gagal menjelaskan justifikasi teknis di balik durasi Harwat yang melebihi batas kelaziman, yang secara kausalitas berdampak pada terhentinya operasi pengawasan.
Puncak dari kurangnya transparansi terlihat saat ditanyakan mengenai detail waktu pasti dimulainya Harwat:
"Sudah malam, Pak, maaf nanti saja kalau ketemu saya jelaskan."
(Aipda Kholik, menunda memberikan keterangan)
Penundaan pemberian informasi mengenai periode Harwat, yang seharusnya merupakan data faktual dan wajib diungkap dalam rangka transparansi publik dan akuntabilitas institusi, menimbulkan dugaan kuat adanya upaya penutupan informasi (obstruction of justice) atau setidaknya keengganan untuk bersikap terbuka.
Institusi penegak hukum, khususnya yang bergerak di sektor maritim, memiliki kewajiban mutlak untuk memastikan operasi pengawasan berjalan optimal demi melindungi sumber daya perikanan dan hak nelayan tradisional. Keterlambatan dan ketidakjelasan dalam Harwat kapal BKO ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang berpotensi melanggar prinsip disiplin dan etika profesi.
Dibutuhkan audit operasional dan finansial segera terhadap proses Harwat kapal BKO tersebut, serta peninjauan kembali atas efektivitas pengawasan oleh Polairud Polda Jatim di perairan Sumenep, guna memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan dan mengembalikan rasa keadilan bagi nelayan kecil.
(R. M Hendra)
