Sumenep, Kompasone.com – Menjelang tutup tahun anggaran 2025, aroma busuk dugaan tindak pidana korupsi dan penyelewengan Dana Desa (DD) di Desa Kolo-Kolo, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, menyeruak ke permukaan. Praktik tata kelola keuangan desa yang jauh dari prinsip good governance ini memicu reaksi keras dari elemen masyarakat sipil.
Johari, seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat sekaligus tokoh masyarakat Kangean, membongkar rentetan kejanggalan yang mengarah pada indikasi kerugian negara. Fokus utama tertuju pada program ketahanan pangan sektor peternakan ayam petelur yang dinilai hanya menjadi kedok untuk menyerap anggaran tanpa asas manfaat yang jelas.
Proyek kandang ayam petelur dengan alokasi anggaran fantastis senilai Rp80 juta diduga kuat tidak sesuai dengan spesifikasi teknis (speak) dan standar kualitas bangunan. Secara yuridis, ketidaksesuaian antara realisasi fisik dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) merupakan bentuk wanprestasi dan indikasi kuat adanya mark-up.
"Ini sungguh jauh dari kenyataan. Pembangunan kandang tersebut diduga kuat hanyalah upaya 'bancakan' anggaran. Secara teknis, kandang itu tidak layak; tanpa pagar pengaman yang memadai, membuat ternak rentan stres. Ini bukan pemberdayaan, ini penghamburan uang rakyat!" tegas Johari dengan nada geram.
Tak hanya urusan ayam, Johari membeberkan daftar panjang dugaan penyimpangan di Desa Kolo-Kolo yang menabrak UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kegagalan Proyek Pengeboran Air: Anggaran sebesar Rp74 juta telah terserap, namun hingga detik ini masyarakat tidak merasakan setetes air pun. Hal ini mengarah pada dugaan proyek mangkrak yang merugikan hak konstitusional warga atas air bersih.
Sistem Informasi D1 Gaib, Alokasi dana untuk pengembangan sistem informasi desa diduga fiktif atau tidak terealisasi, namun laporannya patut dipertanyakan keberadaannya.
Absensi Kepala Desa (Kades): Kades Kolo-Kolo dituding kerap mangkir dari kantor, sebuah bentuk maladministrasi dan pengabaian kewajiban sebagai pelayan publik.
Sikap Kepala Desa yang selalu menghindar dan "alergi" terhadap klarifikasi masyarakat memperkuat dugaan adanya hal yang ditutup-tupi. Johari juga menyoroti peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengawas (check and balances), namun terkesan "mandul" dan tidak bergigi dalam menyikapi keluhan warga.
"Saya mendesak BPD untuk segera menghadirkan Kepala Desa secara konfrontatif. Jangan biarkan masyarakat jenuh dengan pelayanan publik yang lumpuh karena pemimpinnya jarang masuk kantor," tambah Johari.
Sesuai dengan UU Tipikor No. 31 Tahun 1999, setiap tindakan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum yang merugikan keuangan negara dapat dijerat pidana penjara. Pihak inspektorat maupun aparat penegak hukum (APH) diminta untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif terhadap SPJ Desa Kolo-Kolo tahun anggaran 2024-2025.
Hingga berita ini dipublikasikan, pihak Pemerintah Desa Kolo-Kolo masih bungkam seribu bahasa dan tidak memberikan keterangan resmi terkait tudingan serius tersebut. Senyapnya pihak desa seolah membenarkan pepatah, siapa yang bersalah, dia yang gelisah.
(Fadhor Rahman)
