Teluk Wondama, Kompasone.com – Sabtu (5/7/2025) menjadi hari bersejarah bagi Situs Religi Aitumeiri di Miei, Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, relokasi warga yang tinggal di kawasan situs tersebut akhirnya terlaksana. Kerja sama yang erat antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Teluk Wondama dan Sinode GKI Tanah Papua, serta kesediaan warga untuk pindah, menjadi kunci keberhasilan ini.
Bupati Teluk Wondama, Elysa Auri, dan Sekretaris Umum Sinode GKI Tanah Papua, Pendeta Daniel Kaigere, secara langsung memantau proses pengosongan rumah secara simbolis. Acara dimulai dengan doa bersama yang dihadiri Wakil Bupati Anthonius Alex Marani, perwakilan Forkopimda, tokoh adat dan agama, serta pejabat Pemkab Teluk Wondama dan masyarakat.
Bupati Auri menyampaikan bahwa kesepakatan telah tercapai antara Pemkab Teluk Wondama, Sinode GKI, dan seluruh keluarga yang tinggal di kawasan situs. Pemerintah daerah telah menyiapkan rumah-rumah baru dan kompensasi yang layak bagi warga yang direlokasi. “Semua sudah sepakat. Rumah dan kompensasi sudah disiapkan,” tegas Bupati Auri.
Relokasi ini membuka jalan bagi revitalisasi Situs Aitumeiri, sebuah situs religi yang sangat penting bagi sejarah Orang Papua. Proyek revitalisasi ini sempat tertunda karena belum terselesaikannya masalah relokasi warga. Bupati Auri berharap revitalisasi dapat segera rampung sebelum Perayaan Satu Abad Peradaban Orang Papua pada 25 Oktober 2025. "Kita hanya memiliki waktu sekitar 100 hari lagi. Kita harus membangun dengan tepat, pada waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat," tambahnya.
Pendeta Kaigere menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Pemkab Teluk Wondama dan mengucapkan terima kasih kepada warga yang telah bersedia pindah. Ia juga menambahkan bahwa gereja akan menangani hal-hal yang menjadi tanggung jawab mereka selanjutnya.
Moses Rumbiak, mewakili warga yang direlokasi, menyampaikan permohonan maaf kepada adat, gereja, dan pemerintah. Dengan haru, ia berkata, “Hari ini kami memberikan tanda (memukul tembok rumah dengan palu), bahwa kami akan meninggalkan tempat ini.”
Proses negosiasi relokasi ini telah berlangsung lama, melibatkan dua periode pemerintahan. Situs Aitumeiri, tempat pertama kali sekolah formal bagi Orang Asli Papua dibuka pada tahun 1925 oleh misionaris Belanda I.S Kijne, kini siap untuk direvitalisasi. Dengan selesainya relokasi, revitalisasi diharapkan dapat berjalan lancar dan tepat waktu.
(tonci)