Sumenep, Kompasone.com – Proyek konstruksi pelebaran jalan di Kebonagung kini terperosok dalam labirin ketidakpastian, menguak kembali diskursus klasik antara komitmen birokrasi versus akuntabilitas publik. Pekerjaan yang diinisiasi oleh Dinas PUTR ini, alih-alih menjadi solusi infrastruktur yang diidamkan, justru hadir menjadi komplikasi laten yang memantik skeptisisme tajam di kalangan pemerhati kebijakan dan masyarakat lokal.
Pangkal keruwetan ini berpusar pada janji yang terurai sepotong-sepotong. Jufri, Kepala Bidang Bina Marga (Kabid Binamarga), 25/9/25 secara eksplisit menyatakan bahwa proyek beton ini merupakan fase pra-kondisi yang akan segera disusul dengan pengaspalan pasca-rampung.
Namun, menjelang tenggat waktu yang ditetapkan, tidak ada satu pun indikasi material maupun mobilisasi yang mengarah pada realisasi pengaspalan tersebut. Klaim Jufri bahwa pekerjaan sudah termasuk pengaspalan kini dihadapkan pada fakta lapangan yang kontradiktif, menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai integritas perencanaan dan manajemen proyek.
Persoalan kian memanas dengan kritik tajam dari aktivis pemerhati kebijakan, 6/10/25 Rasyid Nadyin. Rasyid menyoroti instalasi gorong-gorong yang dinilai cacat logika dan efektivitas. Menurutnya, jalur drainase yang idealnya mengalir dari arah barat Asta Tinggi seharusnya dituntaskan hingga perempatan timur Desa Kebonagung dan dialirkan ke sungai Kebonagung yang notabene lebih dekat dan logis sebagai titik serapan.
Namun, penjelasan Kabid Jufri justru mengarah ke skema historis yang tidak relevan dengan kebutuhan saat ini, yakni klaim bahwa gorong-gorong telah ada sejak lama dan mengarah ke Fakultas UNIBA di Lingkar Barat. Sebuah argumentasi yang menurut Rasyid tidak masuk akal dan mengabaikan prinsip efisiensi infrastruktur berbasis topografi.
Rasyid menekankan, "Biasanya sebelum di cor itu dibuat gorong-gorong dulu agar nantinya jika saat hujan besar, jalan dari arah barat tidak menggenang dan membuat pengguna jalan tidak merasa nyaman karena air tersebut tidak menemukan serapan aliran yang menuju sungai Kebonagung." Pernyataan ini menegaskan bahwa penanggulangan masalah drainase harusnya menjadi prasyarat sebelum penuangan beton, sebuah prinsip konstruksi yang tampaknya telah dianulir dalam proyek ini.
Kekecewaan Rasyid Nadyin memuncak pada isu transparansi dan akuntabilitas. Upaya konfirmasi lanjutan kepada pelaksana proyek, yang merupakan hak mendasar dalam mekanisme pengawasan publik, justru disambut dengan sikap non-kooperatif dari pihak PUTR.
Permintaan Rasyid akan nomor kontak pelaksana proyek dijawab dengan praktik lempar tanggung jawab dari Kabid Jufri yang mengaku tidak tahu dan mengarahkan ke bawahannya, Indra, yang hingga kini bersikap apatis dan tidak mengindahkan permintaan tersebut.
"Saya sangat kecewa karena dari pihak PUTR tak komparatif dan transparan dalam pembangunan proyek tersebut," tukas Rasyid. Sikap tertutup dan elusif dari pemangku kepentingan ini secara esensial telah mencederai semangat keterbukaan informasi dan menguatkan persepsi bahwa proyek konstruksi di Kebonagung tengah diselimuti aura ketidakjelasan dan mungkin, praktik-praktik yang tidak sepenuhnya prudent.
Proyek yang sedianya menjadi etalase keberhasilan pembangunan, kini berpotensi tergelincir menjadi monumen kegagalan perencanaan dan erosi kepercayaan publik. Dinas PUTR kini dituntut untuk segera keluar dari zona defensif dan memberikan klarifikasi berbobot yang mampu memulihkan marwah proyek dan menjawab kegelisahan masyarakat
(R. M Hendra)
