Kubu Raya, kompasone.com– Ketua Lembaga Investigasi Negara (LIN) Kubu Raya, Nurjali, S.Pd.I, angkat bicara soal aturan baru BPH Migas dan Pertamina yang mewajibkan pembelian BBM di sub penyalur pakai KTP dan STNK.
Menurutnya, aturan itu jelas memberatkan masyarakat, terutama di pedalaman. Bayangkan saja, motor hanya boleh beli 2 liter dan mobil 10 liter, itu pun harus sesuai alamat di KTP. Padahal, warga di desa-desa sangat tergantung dengan sub penyalur karena jarak ke SPBU jauh dan pasokan terbatas.
“Ini bukan solusi, malah bikin rakyat makin susah. KTP dan STNK itu dokumen pribadi, masa setiap kali beli bensin harus ditunjukkan? Di kampung saja beli BBM sudah susah, sekarang ditambah aturan yang ribet,” tegas Nurjali.
Ia menilai aturan ini tidak adil. Sub penyalur ditekan dengan aturan ketat, sementara SPBU justru bebas. Padahal, praktik nakal paling banyak terjadi di SPBU, seperti pengisian jeriken dan tangki siluman. “Kalau memang mau jujur mengawasi, SPBU juga harus diperlakukan sama. Jangan cuma sub penyalur yang dikorbankan,” ujarnya.
Nurjali juga menyoroti lemahnya pengawasan Pertamina. CCTV SPBU katanya tersambung ke pusat, tapi mafia migas tetap leluasa. Sementara di lapangan, masyarakat sering melihat BBM subsidi dijual liar di warung dan pinggir jalan. “Pertanyaannya, dari mana asal BBM itu? Kenapa tidak ada sanksi? Kenapa SPBU yang jelas-jelas memasok tidak pernah disentuh?” katanya.
Ia menegaskan, aturan baru ini harus dibuat adil dan transparan, bukan hanya menekan rakyat kecil. Kalau mafia migas dan SPBU nakal tidak diberantas, maka BBM subsidi akan semakin jauh dari masyarakat yang benar-benar berhak menikmatinya. “Rakyat kecil jangan ditekan, sementara mafia migas dibiarkan bebas,” pungkasnya.
Sumber: DPC LIN Kubu Raya
Penulis: Johandi
